Nilai-Nilai
Profetik dan Pemberdayaan Perempuan
Inayatur
Rosyidah
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta dan IMMawati Pimpinan Cabang
Ahmad Dahlan Kota Surakarta 2018
ABSTRAK
Dalam
pandangan masyarakat tradisional, laki-laki dianggap memiliki peran sebagai
kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas pencarian nafkah, sementara
perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga yang bertanggung jawab atas
manajemen rumah tangga dan perwatan anak. Namun sekarang ini semakin mudah
ditemui perempuan yang bekerja di sektor publik. Di sinilah tingginya kebutuhan
keluarga mendorong perempuan untuk turut serta dalam pencarian nafkah, meski
mungkin juga kebutuhan untuk mengembangkan identitas diri untuk turut berperan.
Dan perlunya pemberdayaan bagi kaum perempuan sebagaimana mestinya.
Untuk
mengupayakan adanya kesetaraan gender, perlu adanya konter hegemoni ideology
patriarkhi dan muatan nilai-nilai profetis dalam pemberdayaan perempuan, yaitu
mengutamakan humanisasi, mewujudkan liberasi dan melakukan transendensi.
Sehingga bila nilai-nilai profetik dapat direalisasikan di segala bidang, maka
kaum perempuan akan merasakan manfaatnya sebagai sarana berpartisipasi
sekaligus menunjukkan kualitas dan kuantitasnya di masing-masing bidang. Yang
kemudian terwujudlah kaum perempuan yang ideal yaitu perempuan yang beriman,
berakhlak mulia, berpendidikan, berwawasan inklusif dan beramal sholeh yang
antara lain terwujud dalam aktivitasnya membangun dan memberdayakan masyarakat
menuju terciptanya tatanan masyarakat yang adil, damai dan sejahtera (baldatun
thoyyibatun wa robbun ghofuur).
Tujuan
utama penulisan artikel ini adalah untuk memberikan wacana mengenai pentingnya
nilai-nilai profetik dalam pemberdayaan perempuan sehingga perempuan juga bisa
mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang setara dan adil dalam meningkatkan
kualitasi masing-masing individu baik di bidang IPTEK, ekonomi, politik dan
sosial.
A.
PENDAHULUAN
Seluruh
umat manusia adalah makhluk Allah yang sama, memiliki drajat yang sama, apapun
latar belakang kulturnya, memiliki penghargaan yang sama dari Allah yang harus
dihormati dan dimuliakan. Islam menghendaki pola interaksi antara laki-laki dan
perempuan tetap pada koridor dan batasan yang telah ditetapkan dalam syari’at,
sehingga tidak akan terjadi segala bentuk ketidakadilan terhadap kaum
perempuan. Maka diskriminasi yang berlandaskan perbedaan jenis kelamin, ras,
teritorial, suku, agama dan lain sebagainya tidak memiliki dasar dalam ajaran
tauhid. Perbincangan tentang keadilan gender sudah sangat meluas, namun dari
pengamatan masih sering terjadi tentang kesalahpahaman tentang apa yang
dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan upaya pemberdayaan kaum
perempuan.
Pemberdayaan
perempuan adalah usaha sistematis dan terencana untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dan konsep
pemberdayaan perempuan ini merupakan suatu upaya untuk memberikan peranan yang
lebih luas dan beragam, tidak hanya kegiatan-kegiatan internal keluarga tapi
juga adanya partisipasi perempuan dalam wilayah publik. Upaya pemberdayaan
perempuan juga merupakan upaya untuk mengikis budaya patriarkis yang
menyebabkan dominannya peran laki-laki segala bidang sehingga membuat perempuan
tersingkir dan hanya mendapat peran untuk mengurus rumah tangga. Pemberdayaan
perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat tercapainya kualitas hidup
dan mitra kesejajaran laki-laki dan perempuan yang dilaksanakan melalui
kegiatan sosialisasi dan advokasi pendidikan serta latihan bagi kaum perempuan
yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor. Akan tetapi pengenalan konsep
pemberdayaan perempuan ini telah mnegalami pergeseran nilai dan arti. Perempuan
modern memahami konsep ini sebagai bentuk kebebasan beraktifitas di luar rumah.
Kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan peran di dalam keluarga. Tidak
sedikit akhirnya perempuan banyak berperanaktif di luar rumah, sementara
laki-laki bertukar peran menempati tanggung jawab perempuan. Realita ini tentu
menyalahi konsep pemberdayaan perempuan yang diperkenalkan oleh islam.
Dalam
setiap masyarakat selalu ada pembagian kerja seksual antara laki-laki dan
perempuan, sehingga dikenal peran gender yang berbeda anatara perempuan dan
laki-laki. Pembagian kerja seksual tersebut ada yang secara ketat diterapkan
ada pula yang longgar tergantung lingkungan budayanya. Misalnya secara biologis
perempuan mempunyai reproduksi untuk hamil, melahirkan, menyusui lalu
berkembanglah peran gender bahwa peran utama perempuan adalah sebagai perawat dan
pendidik anak. Konsekuensi logis dari peran tersebut adalah bahwa pekerjaan di
rumah tangga dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang demikian itulah yang
menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan bagi perempuan. Perbedaan gender
sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak
menimbulkan ketidakadilan gender. Akan tetapi, realitanya di masyarakat
menunjukkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
gender antara lain terwujud dalam bentuk
pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan
terutama dialami kaum perempuan yang bekerja diluar rumah, perlakuan kekerasan
terhadap perempuan meliputi kekerasan di rana domestik maupun di rana publik,
marginalisasi atau pemiskinan perempuan dalam bidang ekonomi (proses pemiskinan
ini disebabkan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan perempuan
bernilai lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki, dan akibatnya upah bagi
pekerjaan perempuan lebih murah) dan juga bentuk subordinasi yakni anggapan
bahwa perempuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap kepentingan
laki-laki dan ini terjadi baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan
masyarakat.
Islam
diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin
(agama yang menebarkan rahmay bagialam semesta). Salah satu bentukdari rahmat
itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan setara
dengan laki-laki. Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan
laki-laki akan tetapi secara tegas Islam melarang manjadikan perbedaan itu
sebagai alasan untuk mengutamakan salah satu pihak (laki-laki atau perempuan)
dan merendahkanpihak lainnya. Dengan demikian Islam mengakui adanya perbedaan
tetapi mengutuk perilaku yang membedakan atau diskriminatif, karena
bertentangan dengan prinsip tauhid dan inti ajaran Islam. Di masa Rasulullah
kaum perempuan digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara
akhlaqnya. Bahkan di dalam al Qur’an figur ideal seorang muslimah disimbolkan
sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, baik
kemandirian di bidang ekonomi, politik, pendidikan maupun sektor publik
lainnya.
Dari
permasalahan yang timbul inilah maka kita perlu mengetahui konsep sesungguhnya
mengenai pemberdayaan perempuan yang sesuai dengan apa yang diajarkan
Rasulullah dan bisa meneladaninya dalam kehidupan sehingga nilai-nilai ke-
Islaman itu juga bisa dilaksanakan dan ditegakkan untuk mencapai keridhoan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan yang harus kita pahami adalah bahwa
pemberdayaan perempuan bukanlah refleksi dari gugatan atau pemberontakan kaum
perempuan terhadap laki-laki. Namun, pemberdayaan perempuan merupakan suatu
refleksi terhadap fithrah manusia yang diciptakan untuk saling melengkapi
antara laki-laki dan perempuan sehingga saling memberikan kesempatan untuk
berkembang, berprestasi dan mengembangkan potensinya dan tak lupa yaitu dengan
mengaplikasikan nilai-nilai keislaman yang diajarkan oleh Rasulullah sesuai al
Qur’an dan as Sunnah.
B.
PEMBAHASAN
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. At Taubah: 71)
Di
dalam ayat tersebut telah digambarkan bahwa perempuan dan laki-laki telah
mempunyai tugas yang sama dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar dan ibadah
lainnya, di situlah seorang laki-laki merupakan partner perempuan dalam
berperan baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, maupun komunitas dan
organisasi yang lain. Akan tetapi seseorang itu dibedakan dari segi
prestasinya, oleh karena itu perempuan dan laki-laki mempunyai hak untuk
menacari ilmu,meningkatkan kualiatas dirinya sehingga mampu meenghadapi
tantangan zaman ke depannya.
Akan
tetapi perbedaan perspektif terkait dengan peran perempuan dan laki-laki masih
sering disalah artikan begitu juga dengan gender yang di mana masyarakat masih
menganggap bahwa istilah gender seringkali dirancukan dengan istilah jenis
kelamin dan lebih rancu lagi jika gender itu diartikan dengan jenis kelamin
perempuan. Padahal istilah gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin
perempuan melainkan juga jenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu penting
sekali memahami perbedaan jenis kelamin (sex) dan gender. Adapun yang
dimaksud dengan jenis kelamin (sex) adalah perbedaan biologis hormonal
dan patalogis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki
penis, testis dan sperma sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum
dan Rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda dan masing-masing
mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Perbedaan biologis
itulah yang bersifat kodrati (sesuatu yang sudah dikehendaki oleh Allah) atau
pemberian tuhan dan tak seoarng pun dapat mengubahnya.
Adapun
gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggungjawab, fungsi, hak dan perilaku
yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau
lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Perbedaan
sifat, sikap dan perilakuyang dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau
yang lebih popular dengan istilah feminitas dan maskulinitas terutama merupakan
hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang di
lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Feminitas dan
maskulinitas seorang bukanlah hal yang kodrati, melainkan dapat berubah dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang
dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.
1.
Gender dan
Perempuan
Gender
adalah peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Peran-peran
tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta kesempatan
antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai
yang berlaku dan budaya lokal. Artinya laki-laki dan perempuan harus bersikap
dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakatnya. Misalnya
suatu masyarakat memiliki pandangan bahwa laki-laki itu perkasa dan perempuan
lemah lembut, laki-laki itu berani dan perempuan itu penakut, laki-laki itu
rasional dan perempuan itu emosional, laki-laki itu aktif dan perempuan itu pasif
dan sebagainya. Karena hasil konstruksi masyarakat gender bisa berubah-ubah,
bisa dipertukarkan dan bersifat local artinya masing-masing ras, suku dan
bangsa mempunyai aturan, norma dan budaya yang khas, berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Adapun peran sosial yang diakibatkan oleh perbedaan jenis
kelamin, contohnya peran mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga
diklasifikasikan sebagai tugas dan tanggung jawab perempuan, padahal peran
tersebut bagi perempuan bukan kodrati melainkan konstruksi sosial sehingga
laki-laki dapat melakukannya,yang merupakan peran kodrati perempuan adalah
haid, hamil, melahirkan dan meyusui karena peran tersebut tidak dapat
digantikan dan dipertukarkan dengan laki-laki. Jadi istilah gender itu tidak
hanya digunakan oleh perempuan saja tapi antara perempuan dengan laki-laki
sehingga dalam melakukan kegitan di bidang apapun (selain peran kodrati) itu
mempunya hak yang sama.
Perbedaan
laki-laki dan perempuan secara gender masih menjadi masalah yang mengundang
keprihatinan kaum perempuan, perbedaan anatomi biologis antara perempuan dan
laki-laki cukup jelas, namun efek timbul akibat perbedaan itu menimbulkan
perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin (sex) melahirkan
seperangkat konsep budaya. Ada dua kelompok besar dalam wacana menegenai konsep
kesetaraan gender dan keduanya saling bertolak belakang. Kelompok pertama
menganggap konsep gender adalah konstruksi sosial sehingga perbedaan jenis
kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam
tatanan sosial, sedangkan kelompok kedua menganggap perbedaan jenis
kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan
sosial, sehingga akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan yang berstereotip
gender.
Diskursus
tentang hal tersebut akan tetap ada sepanjang zaman, meskipun laki-laki dan
perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang. Namun, hak yang sama
itu sering kali tidak dibarengi dengan kesempatan yang sama, sehingga
keterwakilan perempuan dibidang apapun menjadi sangat timpang. Hal itu
disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
a.
Nilai sosial yang lebih
mengutamakan laki-laki
Dalam
masyarakat Indonesia masih berkembang nilai sosial budaya yang membatasi
perempuan untuk maju, misalnya perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi
karena akhirnya akan ke dapur juga, dalam masyarakat agraris-tradisional anak
laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi daripada anak perempuan karena
merupakan tenaga kerja yang membantu orang tunya bekerja di sawah. Nilai sosial
budaya yang bermula dari sektor domestik yang kemudian terbawa ke sektor
publik. Selain itu ada pendangan bahwa mempekerjakan laki-laki secara
ekonomislebih menguntungkan karena mereka tidak akan mengambil cuti hamil dan
melahirkan.
b.
Pembagian kerja berdasarkan gender
dalam masyarakat agraris tradisional
Secara
empiris, manusia melihat adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan, disertai dengan persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap
gender. Atas dasar itu, manusia mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan
perempuan dalam rumah dan masyarakat. Dalam masyarakat agraris-tradisional,
dikenal pembagian kerja berdasarka seks yaitu laki-laki bekerja di sawah
(sektor publik) dan perempuan bekerja di rumah (domestik). Pembagian kerja ini
kemudian berlanjut meskipun masyarakat Indonesia sudah meninggalkan corak
agraris-tradisionalis.
c.
Citra perempuan sebagai kaum yang
lemah lembut
Perempuan
di satu pihak menjadi simbol keindahan tetapi dilain pihak, citra perempuan
tetap dinilai sebagai kaum yang lemah lembut. Citra ini bertentangan dengan
citra politik khusunya karena citra politik cenderung keras, kejam dan
menghalalkan segala cara sehingga politik bukan dunia yang cocok bagi kaum
perempuan.
d.
Ajaran agama yang ditafsirkan
secara sempit dan persial
Beberapa
ajaran agama tertentu dipandang menghalangi ruang gerak perempuan di sektor
publik. Hal ini sebenarnya merupakan penafsiran yang sempit dan persial,
misalnya dalam ajaran Islam bahwa “perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hal
ini adalah penafsiran dalam konteks rumah tangga bukan dalam konteks kenegaraan
(sektor publik). Al Qur’an sendiri mengakui adanya perbedaan (distinction)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan itu bukanlah pembedaan (discrimination)
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
e.
Kurangnya political will
pemerintah
Meskipun
peraturan perundang-undangandi Indonesia tidak membedakan anatara laki-laki dan
perempuan tetapi implementasinya di lapangan diwarnai diskriminasi, sehingga
kesempatan bagi kaum perempuan untuk maju menjadi terbatas. Implementasi
kebijakan yang masih diskriminasi itu antara lain disebabkan oleh kurangnya political
will pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
f.
Kekurangan dalam kualitas
individu perempuan
Keterbatasan
peran kaum perempuan di sektor publik, hal ini merupakan kurangnya kaum
perempuan dalam meningkatkan kualitas individu.
Beberapa
faktor yang menjadi kendala tersebut harus dieliminir agar terwujud kesetaraan
dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang,
karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk berprestasi di masing-masing
bidang yang dimiliki.
Dalam
Islam, untuk meraih surga, peluang terbuka sama bagi kedua gender (laki-laki
dan perempuan). Maka terserahlah kepada kemauan dan pilihan bebas mereka untuk
bergerak ke sana dengan memanfaatkan peluang dunia ini semaksimal mungkin dalam
batas-batas kemanusian mereka masing-masing. Partisipasi dalam politik maupun
bidang yang lain hanyalah salah satu sarana belaka dalam mengaktualisasikan
posisi diri dalam sebuah dunia yang semakin sempit dan lintang pukang,
dibandingka dengan kedudukan perempuan Afrika, Asia Barat dan Asia Selatan, di
mana posisi kaum perempuan di Indonesia secara legal-formal-konstitusional jauh
lebih baik. Bahkan di sini seorang perempuan dapat menjadi presiden apalagi
menjadi lurah, wali Negara, bupati/walikota, kepala sekolah maupun yang lain.
Adapun posisi dalam bidang-bidang tersebut itu semunya bukan masalah gender
jika posisi itu tidak dimanfaatkan secara bijak dan efektif, akan tetapi
sepenuhnya adalah masalah kualitas dan komitmen sesorang kepada amanah yang
diterimanya. Peran di sektor publik akan terlaksana dengan baik jika peran di
keluarga juga terselesaikan dengan baik pula.
2.
Kesadaran
Profetis dalam Pemberdayaan Perempuan
Kesadaran
merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan
yang lain, sifatnya unik di mana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai
dengan yang diyakininya. Kesadaran menghasilkan refleksi yang dapat memberikan
kekuatan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu, karena itu setiap
teori yang dihasilkan oleh seorang merupakan refleksi tentang realitas dan
manusia.
Manusia
sebagai makhluk multi dimensional memiliki hubungan dengan berbagai sistem yang
ada baik di dalam maupun dengan sesame manusia. Hubungan manusia dengan alam
sebgai sarana untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan menjadikan alam
memberikan manfaat pada manusia tanpa merugikan yang lain. Alam merupakan
sarana untuk mempermudah manusia dalam menjalankan kehidupan. Manusia juga
memiliki dimensi sebagai makhluk sosial yang berkomunikasi, bersosialisasi
dengan yang lain. Interaksi manusia dengan yang lain dan bagaimana cara merubah
alam agar memberikan manfaat bagi manusia, maka menimbulkan sebuah kesadaran.
Kesadaran tumbuh dalam diri manusia dikarenakan hubungan manusia dengan alam
ataupun dengan sesamanya.
Kesadaran
profetik merupakan kesadaran yang dimiliki oleh agama dalam melakukan transformasi sosial pada satu
tujuan tertentu berdasarkan etika tertentu pula. Sebgaimana kesadaran dalam
Islam merupakan suatu bentuk kesadaran yang dimiliki manusia dari Tuhan untuk
menentukan dan merubah sejarah, bukan manusia yang ditentukan oleh sejarah.
Islam memandang kesadarannya merupakan kesadaran immaterial, yang
menentukan materil dengan maksud bahwa iman sebagai basis kesadaran menentukan
struktural. Kesadaran dalam Islam bersifat independen tidak dipengaruhi oleh
struktural, basis sosial dan kondisi material. Kesadaran profetis menyakini bahwa
yang menentukan bentuk kesadaran adalah Tuhan dan ketentuan kesadaran ini untuk
menebarkan asma atau nama Tuhan di dunia sehinggarahmat diperoleh manusia,
bentuk kesadaran ini merupakan ruh Ilahiah untuk melakukan transormasi
sosial. Kesadaran profetis ini adalah suatu cita yang diinginkan oleh setiap
insan dalam berproses menuju kesempurnaan. Begitu pula yang dilakukan manusia
dengan kesadaran profetis ketika menyampaikanpesan sesuai dengan bahasa
kaumnya. Penyampaian sesuai dengan bahasanya sehingga menjadikan penerima
memahami, melaksanakan dengan sadar dan bertanggung jawab.
Adapun
pemberdayaan perempuan adalah upaya meningkatkan kemampuan perempuan untuk
memperoleh akses dan control terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial
budaya. Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk memupuk kemampuan dan rasa
percaya diri perempuan agar nantinya mampu berperan aktif dalam memecahkan
persoalan diri dan masyarakat.
Beribu
tahun sebelumnya, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan
oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan
ia dianggap tidak memiliki dirinya. Islam secara bertahap mengembalikan lagi
hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka. Ia berhak menyuarakan keyakinannya,
berhak mengaktualisasikan karyanya dan berhak memiliki harta yang memungkinkan
mereka diakui sebagai warga masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa kaum perempuan
di masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan
terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al Qur’an figur ideal perempuan disimbolkan
sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik (QS. Mumtahanah: 12) seperti
figur Ratu Bilqis yang memimpin kerajaan superpower (QS. An Naml: 23), memiliki
kemadirian ekonomi (QS. An Nahl: 97) seperti figur perempuan pengelola
peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan (QS. Al Qashash: 23), kemandirian di
dalam meentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya sekalipun berhadapan
dengan suami bagi wanita yang sudah menikah (QS. At Tahrim: 11) atau menentang
pendapat orang banyak bagi perempuan yang belum menikah (QS. At Tahrim: 12) dan
al Qur’an juga mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan “oposisi”
terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (QS. At Taubah: 71).
Pada
masa Nabi itulah sejumlah kaum perempuan memiliki kemampuan intelektual dan
prestasi sosial yang cemerlang seperti yang diraih kaum laki-laki, seperti para
istri Rosul. Dalam jaminan al Qur’an perempuan dengan leluasa memasuki sektor
kehidupan masyarakat termasuk politik, ekonomi dan berbagai sektor publik
lainnya. Dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam Islam tidak dibatasi ruang
geraknya hanya pada sektor domestik melainkan dipersilahkan aktif disektor
publik termasuk bidang IPTEK, ekonomi, sosial, ketenagakerjaan, HAM dan
politik. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa keaktifannya itu tidak sampai
membuat ia lupa atau mengingkari kodratnya sebagai perempuan di mana ia berhak
menjalankan reproduksinya dengan wajar seperti hamil, melahirkan dan menyusui
anaknya. Hal ini lebih penting lagi bahwa keaktifannya itu tidak sampai
menjerumuskan dirinya keluar batas-batas moral yang digariskan agama.
Di
Indonesia kaum perempuan sudah sangat terbuka untuk memasuki sektor publik
sehingga perempuan di Indoesia ini mempunyai kesempatan seperti laki-laki baik
di dunia pendidikan, ekonomi, politik, sosial maupun yang lainnya. Hanya saja
kebebasan kaum perempuan ini harus selalu sejalan dengan norma-norma agama
karena di Indonesia banyak berbagai macam komunitas perempuan yang sebgaian
tidak sejalan dengan norma-norma agama dan etika profetis. Yaitu etika yang
didasarkan pada wahyu Tuhan, bukan semata-mata menggunakan rasional sehingga
terjatuh dalam etika rasional semata yang kemudian memunculkan hedonism,
utilitarian dan deontologist. Juga bukan saja didasarkan pada wahyu
tanpa menggunakan analisis dalam memandang kebenaran dan kebaikan sehingga
terjatuh pada etis dogmatis. Dengan demikian kesadaran profetis dalam
pemberdayaan masyarakat itu perlu dan penting karena itu merupakan suatu bentuk
kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai Ilahiah dalam rangka
menjalankan proses kehidupan.
Oleh
karena itu pemberdayaan perempuan hendaknya melahirkan sebanyak mungkin
perempuan yang berpikiran maju, berwawasan inklusif, modern, aktif, dinamis,
terdidik dan mandiri tetapi tetap memiliki akidah yang benar, sopan santun,
mempunyai rasa malu dan budi pekerti mulia. Karena tujuan dari pemberdayaan
perempuan adalah untuk menentang budaya patriarki yaitu dominasi laki-laki dan
subordinasi perempuan, merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan
melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga,
kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan.
3.
Implementasi
Nilai-Nilai Profetik dalam Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan
dan keadilan gender adalah terciptanya kesamaan kondisi dan status laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan menikmati hak-haknya sebagai
manusia agar sama-sama dapat berperan aktif dalam pembangunan. Dengan kata
lain, penilaian dan penghargaan yang sama oleh masyarakat terhadap persamaan
dan perbedaan laki-laki dan perempuan serta berbagai peran mereka.
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. At Taubah: 71)
Dalam
ayat tersebut bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peluang dan peran yang
sama di sektor publik sebagaimana halnya mereka berperan di sektor domestik.
Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang sama yaitu menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran. Tugas amar ma’ruf nahi munkar ini merupakan
tugas yang harus dikerjakan bersama laki-laki dan perempuan. Islam juga
memberikan kebebasan bagi perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Di
dalamayat tersebut disebutkan bahwa di antara karakteristik orang-orang mukmin
perempuan adalah saling tolong menolong satu sama lain, memrintahkan kebajiakan
dan mencegah kemungkaran teramasuk amar ma’ruf nahi mungkar di masalah
politik maupun bidang-bidang yang lain. Karena mengenai soal kemakmuran rakyat
dan keamanan Negara itu kaum perempuan ikut bertanggung jawab maka kaum wanita
Islam diperlukan untuk ikut memikirkan soal-soal yang berhubungan dengan
ketatanegaraan dan ikut serta menggerakkan dan melakukannya.
Prinsip
persamaan mengandung pengertian bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kewajiban yang sama yakni melaksanakan perintah-perintah agama. Dalam tatanan
relasi antar manusia bahwa setiap laki-laki dna perempuan memiliki peluang yang
sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki
peluang sama untuk mendapat adzab bila masing-masing melanggar perintah
tersebut (QS. An Nahl: 97, QS. An Nisa’: 124 dan QS. Al Mu’min: 40). Dalam
ayat-ayat al Qur’an dan telah terbukti dalam sejarah hidup Rasulullah sendiri
bahwa laki-laki yang beriman sama haknya dengan perempuan yang beriman, bahkan
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Islam pun mengetahui
dan menjaga kondisi fisik perempuan, jangan sampai ia memikul hal yang tak
dapat dipikulnya.
Dalam
konsep kesetaraan dan keadilan gender ini perlu dilandasi dengan nilai-nilai
profetik di mana dalam kehidupan ini kita perlu meneladani Rasulullah, karena
keduanya itu saling berkaitan dan setara itu bukan berarti sama. Adapun
nilai-nilai profetik yaitu Humanisasi merupakan amar ma’ruf (menganjurkan atau menegakkan kebaikan) yang
bertujuan untuk meningkatkan dimensi dan positif manusia, yang mmebawa kembali
pada petunjuk ilahi untuk mencapai keadaan fitrah. Dalam hal ini bahwa
kaum perempuan harus dipandang sama dengan kaum laki-laki dari segi kiprahnya
sebagai manusia, hak-hak asasinya juga harus diakui baik di bidang IPTEK,
ekonomi, politik maupun sosial yang tak lain adalah untuk mengembangkan
kualitas ilmunya. Liberasi merupakan nahi munkar (melarang atau
mencegah segala tindakan kejahatan) yang memiliki arti pembebasan terhadap yang
termarjinalkan. Dalam hal ini bahwa kaum perempuan harus membebaskan diri dari gender
stereotying yang menganggap perempuan tidak cocok di dunia publik yang
nantinya akan mempunyai peran ganda yakni domestic dan publik. Transendensi merupakan
tu’minuna billah yang berarti beriman kepada Allah, dalam hal ini bahwa
setiap apa yang telah dikerjakan tersebut tujuannya adalah untuk menolong agama
Allah.
Dengan
demikian ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah
itu merupakan tugas bagi setiap laki-laki maupun perempuan di dunia (baik di
sektor domestik maupun publik) ini agar menjadi umat terbaik (khoiru ummah)
dalam QS. Ali Imron: 110 “kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna
bil ma’ruufi wa tan hauna ‘anil munkar wa tuminuuna billah (kamu adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, meyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada
Allah).” Kemudian terwujudlah baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur.
C.
KESIMPULAN
Gender
bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan. Namun gender berkaitan dengan proses
keyakinan bahwa bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan
bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur serta dengan ketentuan
sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat
dikatakan sebagai pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab perempuan dan
laki-laki yang dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah
sesuai perkembangan zaman. Dalam hal ini maka laki-laki dan perempuan harus
berdaya di segala sektor baik publik maupun domestik.
Pemberdayaan
perempuan adalah upaya meningkatkan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses
dan control terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk memupuk kemampuan dan rasa percaya
diri perempuan agar nantinya mampu berperan aktif dalam memecahkan persoalan
diri dan masyarakat. Dan Pemberdayaan
perempuan hendaknya melahirkan sebanyak mungkin perempuan yang berpikiran maju,
berwawasan inklusif, modern, aktif, dinamis, terdidik dan mandiri tetapi tetap
memiliki akidah yang benar, sopan santun, mempunyai rasa malu dan budi pekerti
mulia. Karena tujuan dari pemberdayaan perempuan adalah untuk menentang budaya
patriarki yaitu dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan, merubah struktur
dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan
ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan
pranata pendidikan.
Dan
agar kaum perempuan dapat aktif dalam masing-masing disiplin ilmunya (di segala
bidang yang ditekuni) maka diperlakukan pemberdayaan bagi kaum perempuan dengan
memberi peluang yang lebih luas untuk berpartisipasi, meningkatkan percaya diri
perempuan, memberikan kesempatan lebih banyak dalam pengambilan keputusan,
memperluas ruang gerak dan kesempatan perempuan.
Dengan
demikian pemberdayaan perempuan ini merupakan tugas bagi kita supaya kaum
perempuan itu berdaya di segala bidang baik di bidang IPTEK, ekonomi, politik
dan sosial. Karena itu merupakan hak kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan
yang setara dan adil dalam rangka untuk meningkatkan kualitas dirinya dan
menebarkan ilmunya ke masyarakat. Dan tak lain harus dilandasi juga dengan
nilai-nilai profetis yaitu mengutamakan humanisasi, mewujudkan
liberasi dan melakukan transendensi. Sehingga generasi khoiru
ummah itu terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
Fakih,
Mansoer. 2016. Analisi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
INSISTPress.
Fayumi,
Badriyatun dkk. 2001. Keadilan dan Kesetaran Gender (Perspektif Islam).
Jakarta: Tim Penerbit Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departeman Agama RI.
Hamka.
2017. Buya Hamka Berbicara Perempuan. Jakarta: Gema Insani.
Ilyas,
Yunahar. 2015. Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an. Yogyakarta: ITQAN
Publishing.
Kontowijoyo.
2007. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sani,
Muhammad Abdul Halim. 2017. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sastriyani,
Siti Hartini. 2009. Gender and Politics. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita
Universitas Gadjah Madah dengan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
dan Penerbit Tiara Wacana.