Wednesday, March 28, 2018

54 Tahun IMM



Bersamamu Ikatan
            Yang Tak Sekedar Numpang

puluhan tahun, ratusan bulan dan ribuan hari
ikatan ini masih ada dan harus tetap ada
jangan pernah mati
jangan pernah berhenti
dan jangan pernah diam wahai ikatan

tetaplah berjuang di ikatan ini
karna di situlah engkau akan menemukan dirimu
yaitu dirimu yang benar-benar dirimu
susah, senang, sedih, bahagia bahkan kepedulian pun akan engkau dapatkan
yang jika kau tinggalkan, engkau akan rindu

ikatan ini adalah ladang dakwah kita
keluarga kita dan tempat belajar kita
jangan pernah kau rusak ikatan ini
karna ikatan ini tak hanya sekedar tumpangan
tak hanya sekedar simbol pena
dan tak hanya sekedar warna merah
tetapi… ikatan ini harus kita rawat dan kita kembangkan

karna penentu bangsa ini adalah ikatan ini
bangsa yang butuh akan kepedulianmu
bangsa yang butuh akan perubahan darimu
bangsa yang butuh penerus yang lahir darimu
dan jadilah ikatan, yang mampu melahirakan pemimpin-pemimpin darimu

tiga tahun ku tlah bersamamu
dan ku bangga telah menjadi bagian darimu
karna di ikatan ini ku tlah menemukan arti sebuah ikatan dan perjuangan
bersama sepeda ontel merahku yang selalu menemaniku
ku kayuh  semampuku sampai tujuan
begitu pula di ikatan ini jangan pernah berhenti sebelum tujuan ini tercapai

dari situlah aku telah belajar di ikatan
ku mencintaimu wahai ikatan
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
yang selalu memberikan kebermanfaatan
dan yang selalu tetap abadi….

Abadi Perjuangan







Monday, March 19, 2018

Nilai-Nilai Profetik dan Pemberdayaan Perempuan



Nilai-Nilai Profetik dan Pemberdayaan Perempuan

Inayatur Rosyidah

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan  IAIN Surakarta dan IMMawati Pimpinan Cabang Ahmad Dahlan Kota Surakarta 2018
                                                                                  
ABSTRAK
Dalam pandangan masyarakat tradisional, laki-laki dianggap memiliki peran sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas pencarian nafkah, sementara perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga yang bertanggung jawab atas manajemen rumah tangga dan perwatan anak. Namun sekarang ini semakin mudah ditemui perempuan yang bekerja di sektor publik. Di sinilah tingginya kebutuhan keluarga mendorong perempuan untuk turut serta dalam pencarian nafkah, meski mungkin juga kebutuhan untuk mengembangkan identitas diri untuk turut berperan. Dan perlunya pemberdayaan bagi kaum perempuan sebagaimana mestinya.
Untuk mengupayakan adanya kesetaraan gender, perlu adanya konter hegemoni ideology patriarkhi dan muatan nilai-nilai profetis dalam pemberdayaan perempuan, yaitu mengutamakan humanisasi, mewujudkan liberasi dan melakukan transendensi. Sehingga bila nilai-nilai profetik dapat direalisasikan di segala bidang, maka kaum perempuan akan merasakan manfaatnya sebagai sarana berpartisipasi sekaligus menunjukkan kualitas dan kuantitasnya di masing-masing bidang. Yang kemudian terwujudlah kaum perempuan yang ideal yaitu perempuan yang beriman, berakhlak mulia, berpendidikan, berwawasan inklusif dan beramal sholeh yang antara lain terwujud dalam aktivitasnya membangun dan memberdayakan masyarakat menuju terciptanya tatanan masyarakat yang adil, damai dan sejahtera (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur).
Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk memberikan wacana mengenai pentingnya nilai-nilai profetik dalam pemberdayaan perempuan sehingga perempuan juga bisa mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang setara dan adil dalam meningkatkan kualitasi masing-masing individu baik di bidang IPTEK, ekonomi, politik dan sosial.

A.      PENDAHULUAN
Seluruh umat manusia adalah makhluk Allah yang sama, memiliki drajat yang sama, apapun latar belakang kulturnya, memiliki penghargaan yang sama dari Allah yang harus dihormati dan dimuliakan. Islam menghendaki pola interaksi antara laki-laki dan perempuan tetap pada koridor dan batasan yang telah ditetapkan dalam syari’at, sehingga tidak akan terjadi segala bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Maka diskriminasi yang berlandaskan perbedaan jenis kelamin, ras, teritorial, suku, agama dan lain sebagainya tidak memiliki dasar dalam ajaran tauhid. Perbincangan tentang keadilan gender sudah sangat meluas, namun dari pengamatan masih sering terjadi tentang kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan upaya pemberdayaan kaum perempuan.
Pemberdayaan perempuan adalah usaha sistematis dan terencana untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dan konsep pemberdayaan perempuan ini merupakan suatu upaya untuk memberikan peranan yang lebih luas dan beragam, tidak hanya kegiatan-kegiatan internal keluarga tapi juga adanya partisipasi perempuan dalam wilayah publik. Upaya pemberdayaan perempuan juga merupakan upaya untuk mengikis budaya patriarkis yang menyebabkan dominannya peran laki-laki segala bidang sehingga membuat perempuan tersingkir dan hanya mendapat peran untuk mengurus rumah tangga. Pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki-laki dan perempuan yang dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi dan advokasi pendidikan serta latihan bagi kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor. Akan tetapi pengenalan konsep pemberdayaan perempuan ini telah mnegalami pergeseran nilai dan arti. Perempuan modern memahami konsep ini sebagai bentuk kebebasan beraktifitas di luar rumah. Kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan peran di dalam keluarga. Tidak sedikit akhirnya perempuan banyak berperanaktif di luar rumah, sementara laki-laki bertukar peran menempati tanggung jawab perempuan. Realita ini tentu menyalahi konsep pemberdayaan perempuan yang diperkenalkan oleh islam.
Dalam setiap masyarakat selalu ada pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan, sehingga dikenal peran gender yang berbeda anatara perempuan dan laki-laki. Pembagian kerja seksual tersebut ada yang secara ketat diterapkan ada pula yang longgar tergantung lingkungan budayanya. Misalnya secara biologis perempuan mempunyai reproduksi untuk hamil, melahirkan, menyusui lalu berkembanglah peran gender bahwa peran utama perempuan adalah sebagai perawat dan pendidik anak. Konsekuensi logis dari peran tersebut adalah bahwa pekerjaan di rumah tangga dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang demikian itulah yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan bagi perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Akan tetapi, realitanya di masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender  antara lain terwujud dalam bentuk pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan terutama dialami kaum perempuan yang bekerja diluar rumah, perlakuan kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan di rana domestik maupun di rana publik, marginalisasi atau pemiskinan perempuan dalam bidang ekonomi (proses pemiskinan ini disebabkan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan perempuan bernilai lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki, dan akibatnya upah bagi pekerjaan perempuan lebih murah) dan juga bentuk subordinasi yakni anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap kepentingan laki-laki dan ini terjadi baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan masyarakat.
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin (agama yang menebarkan rahmay bagialam semesta). Salah satu bentukdari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki akan tetapi secara tegas Islam melarang manjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk mengutamakan salah satu pihak (laki-laki atau perempuan) dan merendahkanpihak lainnya. Dengan demikian Islam mengakui adanya perbedaan tetapi mengutuk perilaku yang membedakan atau diskriminatif, karena bertentangan dengan prinsip tauhid dan inti ajaran Islam. Di masa Rasulullah kaum perempuan digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaqnya. Bahkan di dalam al Qur’an figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, baik kemandirian di bidang ekonomi, politik, pendidikan maupun sektor publik lainnya.
Dari permasalahan yang timbul inilah maka kita perlu mengetahui konsep sesungguhnya mengenai pemberdayaan perempuan yang sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah dan bisa meneladaninya dalam kehidupan sehingga nilai-nilai ke- Islaman itu juga bisa dilaksanakan dan ditegakkan untuk mencapai keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan yang harus kita pahami adalah bahwa pemberdayaan perempuan bukanlah refleksi dari gugatan atau pemberontakan kaum perempuan terhadap laki-laki. Namun, pemberdayaan perempuan merupakan suatu refleksi terhadap fithrah manusia yang diciptakan untuk saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan sehingga saling memberikan kesempatan untuk berkembang, berprestasi dan mengembangkan potensinya dan tak lupa yaitu dengan mengaplikasikan nilai-nilai keislaman yang diajarkan oleh Rasulullah sesuai al Qur’an dan as Sunnah.

B.       PEMBAHASAN
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. At Taubah: 71)
Di dalam ayat tersebut telah digambarkan bahwa perempuan dan laki-laki telah mempunyai tugas yang sama dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar dan ibadah lainnya, di situlah seorang laki-laki merupakan partner perempuan dalam berperan baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, maupun komunitas dan organisasi yang lain. Akan tetapi seseorang itu dibedakan dari segi prestasinya, oleh karena itu perempuan dan laki-laki mempunyai hak untuk menacari ilmu,meningkatkan kualiatas dirinya sehingga mampu meenghadapi tantangan zaman ke depannya.
Akan tetapi perbedaan perspektif terkait dengan peran perempuan dan laki-laki masih sering disalah artikan begitu juga dengan gender yang di mana masyarakat masih menganggap bahwa istilah gender seringkali dirancukan dengan istilah jenis kelamin dan lebih rancu lagi jika gender itu diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Padahal istilah gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan melainkan juga jenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu penting sekali memahami perbedaan jenis kelamin (sex) dan gender. Adapun yang dimaksud dengan jenis kelamin (sex) adalah perbedaan biologis hormonal dan patalogis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki penis, testis dan sperma sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan Rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda dan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Perbedaan biologis itulah yang bersifat kodrati (sesuatu yang sudah dikehendaki oleh Allah) atau pemberian tuhan dan tak seoarng pun dapat mengubahnya.
Adapun gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggungjawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Perbedaan sifat, sikap dan perilakuyang dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih popular dengan istilah feminitas dan maskulinitas terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Feminitas dan maskulinitas seorang bukanlah hal yang kodrati, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.
1.      Gender dan Perempuan
Gender adalah peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Peran-peran tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai yang berlaku dan budaya lokal. Artinya laki-laki dan perempuan harus bersikap dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakatnya. Misalnya suatu masyarakat memiliki pandangan bahwa laki-laki itu perkasa dan perempuan lemah lembut, laki-laki itu berani dan perempuan itu penakut, laki-laki itu rasional dan perempuan itu emosional, laki-laki itu aktif dan perempuan itu pasif dan sebagainya. Karena hasil konstruksi masyarakat gender bisa berubah-ubah, bisa dipertukarkan dan bersifat local artinya masing-masing ras, suku dan bangsa mempunyai aturan, norma dan budaya yang khas, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun peran sosial yang diakibatkan oleh perbedaan jenis kelamin, contohnya peran mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga diklasifikasikan sebagai tugas dan tanggung jawab perempuan, padahal peran tersebut bagi perempuan bukan kodrati melainkan konstruksi sosial sehingga laki-laki dapat melakukannya,yang merupakan peran kodrati perempuan adalah haid, hamil, melahirkan dan meyusui karena peran tersebut tidak dapat digantikan dan dipertukarkan dengan laki-laki. Jadi istilah gender itu tidak hanya digunakan oleh perempuan saja tapi antara perempuan dengan laki-laki sehingga dalam melakukan kegitan di bidang apapun (selain peran kodrati) itu mempunya hak yang sama.
Perbedaan laki-laki dan perempuan secara gender masih menjadi masalah yang mengundang keprihatinan kaum perempuan, perbedaan anatomi biologis antara perempuan dan laki-laki cukup jelas, namun efek timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin (sex) melahirkan seperangkat konsep budaya. Ada dua kelompok besar dalam wacana menegenai konsep kesetaraan gender dan keduanya saling bertolak belakang. Kelompok pertama menganggap konsep gender adalah konstruksi sosial sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tatanan sosial, sedangkan kelompok kedua menganggap perbedaan jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial, sehingga akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan yang berstereotip gender.
Diskursus tentang hal tersebut akan tetap ada sepanjang zaman, meskipun laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang. Namun, hak yang sama itu sering kali tidak dibarengi dengan kesempatan yang sama, sehingga keterwakilan perempuan dibidang apapun menjadi sangat timpang. Hal itu disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
a.       Nilai sosial yang lebih mengutamakan laki-laki
Dalam masyarakat Indonesia masih berkembang nilai sosial budaya yang membatasi perempuan untuk maju, misalnya perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan ke dapur juga, dalam masyarakat agraris-tradisional anak laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi daripada anak perempuan karena merupakan tenaga kerja yang membantu orang tunya bekerja di sawah. Nilai sosial budaya yang bermula dari sektor domestik yang kemudian terbawa ke sektor publik. Selain itu ada pendangan bahwa mempekerjakan laki-laki secara ekonomislebih menguntungkan karena mereka tidak akan mengambil cuti hamil dan melahirkan.
b.      Pembagian kerja berdasarkan gender dalam masyarakat agraris tradisional
Secara empiris, manusia melihat adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, disertai dengan persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap gender. Atas dasar itu, manusia mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah dan masyarakat. Dalam masyarakat agraris-tradisional, dikenal pembagian kerja berdasarka seks yaitu laki-laki bekerja di sawah (sektor publik) dan perempuan bekerja di rumah (domestik). Pembagian kerja ini kemudian berlanjut meskipun masyarakat Indonesia sudah meninggalkan corak agraris-tradisionalis.
c.       Citra perempuan sebagai kaum yang lemah lembut
Perempuan di satu pihak menjadi simbol keindahan tetapi dilain pihak, citra perempuan tetap dinilai sebagai kaum yang lemah lembut. Citra ini bertentangan dengan citra politik khusunya karena citra politik cenderung keras, kejam dan menghalalkan segala cara sehingga politik bukan dunia yang cocok bagi kaum perempuan.
d.      Ajaran agama yang ditafsirkan secara sempit dan persial
Beberapa ajaran agama tertentu dipandang menghalangi ruang gerak perempuan di sektor publik. Hal ini sebenarnya merupakan penafsiran yang sempit dan persial, misalnya dalam ajaran Islam bahwa “perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hal ini adalah penafsiran dalam konteks rumah tangga bukan dalam konteks kenegaraan (sektor publik). Al Qur’an sendiri mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan itu bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
e.       Kurangnya political will pemerintah
Meskipun peraturan perundang-undangandi Indonesia tidak membedakan anatara laki-laki dan perempuan tetapi implementasinya di lapangan diwarnai diskriminasi, sehingga kesempatan bagi kaum perempuan untuk maju menjadi terbatas. Implementasi kebijakan yang masih diskriminasi itu antara lain disebabkan oleh kurangnya political will pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
f.       Kekurangan dalam kualitas individu perempuan
Keterbatasan peran kaum perempuan di sektor publik, hal ini merupakan kurangnya kaum perempuan dalam meningkatkan kualitas individu.
Beberapa faktor yang menjadi kendala tersebut harus dieliminir agar terwujud kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang, karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk berprestasi di masing-masing bidang yang dimiliki.
Dalam Islam, untuk meraih surga, peluang terbuka sama bagi kedua gender (laki-laki dan perempuan). Maka terserahlah kepada kemauan dan pilihan bebas mereka untuk bergerak ke sana dengan memanfaatkan peluang dunia ini semaksimal mungkin dalam batas-batas kemanusian mereka masing-masing. Partisipasi dalam politik maupun bidang yang lain hanyalah salah satu sarana belaka dalam mengaktualisasikan posisi diri dalam sebuah dunia yang semakin sempit dan lintang pukang, dibandingka dengan kedudukan perempuan Afrika, Asia Barat dan Asia Selatan, di mana posisi kaum perempuan di Indonesia secara legal-formal-konstitusional jauh lebih baik. Bahkan di sini seorang perempuan dapat menjadi presiden apalagi menjadi lurah, wali Negara, bupati/walikota, kepala sekolah maupun yang lain. Adapun posisi dalam bidang-bidang tersebut itu semunya bukan masalah gender jika posisi itu tidak dimanfaatkan secara bijak dan efektif, akan tetapi sepenuhnya adalah masalah kualitas dan komitmen sesorang kepada amanah yang diterimanya. Peran di sektor publik akan terlaksana dengan baik jika peran di keluarga juga terselesaikan dengan baik pula.
2.      Kesadaran Profetis dalam Pemberdayaan Perempuan
Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain, sifatnya unik di mana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya. Kesadaran menghasilkan refleksi yang dapat memberikan kekuatan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu, karena itu setiap teori yang dihasilkan oleh seorang merupakan refleksi tentang realitas dan manusia.
Manusia sebagai makhluk multi dimensional memiliki hubungan dengan berbagai sistem yang ada baik di dalam maupun dengan sesame manusia. Hubungan manusia dengan alam sebgai sarana untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan menjadikan alam memberikan manfaat pada manusia tanpa merugikan yang lain. Alam merupakan sarana untuk mempermudah manusia dalam menjalankan kehidupan. Manusia juga memiliki dimensi sebagai makhluk sosial yang berkomunikasi, bersosialisasi dengan yang lain. Interaksi manusia dengan yang lain dan bagaimana cara merubah alam agar memberikan manfaat bagi manusia, maka menimbulkan sebuah kesadaran. Kesadaran tumbuh dalam diri manusia dikarenakan hubungan manusia dengan alam ataupun dengan sesamanya.
Kesadaran profetik merupakan kesadaran yang dimiliki oleh agama  dalam melakukan transformasi sosial pada satu tujuan tertentu berdasarkan etika tertentu pula. Sebgaimana kesadaran dalam Islam merupakan suatu bentuk kesadaran yang dimiliki manusia dari Tuhan untuk menentukan dan merubah sejarah, bukan manusia yang ditentukan oleh sejarah. Islam memandang kesadarannya merupakan kesadaran immaterial, yang menentukan materil dengan maksud bahwa iman sebagai basis kesadaran menentukan struktural. Kesadaran dalam Islam bersifat independen tidak dipengaruhi oleh struktural, basis sosial dan kondisi material. Kesadaran profetis menyakini bahwa yang menentukan bentuk kesadaran adalah Tuhan dan ketentuan kesadaran ini untuk menebarkan asma atau nama Tuhan di dunia sehinggarahmat diperoleh manusia, bentuk kesadaran ini merupakan ruh Ilahiah untuk melakukan transormasi sosial. Kesadaran profetis ini adalah suatu cita yang diinginkan oleh setiap insan dalam berproses menuju kesempurnaan. Begitu pula yang dilakukan manusia dengan kesadaran profetis ketika menyampaikanpesan sesuai dengan bahasa kaumnya. Penyampaian sesuai dengan bahasanya sehingga menjadikan penerima memahami, melaksanakan dengan sadar dan bertanggung jawab.
Adapun pemberdayaan perempuan adalah upaya meningkatkan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial budaya. Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk memupuk kemampuan dan rasa percaya diri perempuan agar nantinya mampu berperan aktif dalam memecahkan persoalan diri dan masyarakat.
Beribu tahun sebelumnya, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan ia dianggap tidak memiliki dirinya. Islam secara bertahap mengembalikan lagi hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka. Ia berhak menyuarakan keyakinannya, berhak mengaktualisasikan karyanya dan berhak memiliki harta yang memungkinkan mereka diakui sebagai warga masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al Qur’an figur ideal perempuan disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik (QS. Mumtahanah: 12) seperti figur Ratu Bilqis yang memimpin kerajaan superpower (QS. An Naml: 23), memiliki kemadirian ekonomi (QS. An Nahl: 97) seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan (QS. Al Qashash: 23), kemandirian di dalam meentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya sekalipun berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah menikah (QS. At Tahrim: 11) atau menentang pendapat orang banyak bagi perempuan yang belum menikah (QS. At Tahrim: 12) dan al Qur’an juga mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan “oposisi” terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (QS. At Taubah: 71).
Pada masa Nabi itulah sejumlah kaum perempuan memiliki kemampuan intelektual dan prestasi sosial yang cemerlang seperti yang diraih kaum laki-laki, seperti para istri Rosul. Dalam jaminan al Qur’an perempuan dengan leluasa memasuki sektor kehidupan masyarakat termasuk politik, ekonomi dan berbagai sektor publik lainnya. Dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam Islam tidak dibatasi ruang geraknya hanya pada sektor domestik melainkan dipersilahkan aktif disektor publik termasuk bidang IPTEK, ekonomi, sosial, ketenagakerjaan, HAM dan politik. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa keaktifannya itu tidak sampai membuat ia lupa atau mengingkari kodratnya sebagai perempuan di mana ia berhak menjalankan reproduksinya dengan wajar seperti hamil, melahirkan dan menyusui anaknya. Hal ini lebih penting lagi bahwa keaktifannya itu tidak sampai menjerumuskan dirinya keluar batas-batas moral yang digariskan agama.
Di Indonesia kaum perempuan sudah sangat terbuka untuk memasuki sektor publik sehingga perempuan di Indoesia ini mempunyai kesempatan seperti laki-laki baik di dunia pendidikan, ekonomi, politik, sosial maupun yang lainnya. Hanya saja kebebasan kaum perempuan ini harus selalu sejalan dengan norma-norma agama karena di Indonesia banyak berbagai macam komunitas perempuan yang sebgaian tidak sejalan dengan norma-norma agama dan etika profetis. Yaitu etika yang didasarkan pada wahyu Tuhan, bukan semata-mata menggunakan rasional sehingga terjatuh dalam etika rasional semata yang kemudian memunculkan hedonism, utilitarian dan deontologist. Juga bukan saja didasarkan pada wahyu tanpa menggunakan analisis dalam memandang kebenaran dan kebaikan sehingga terjatuh pada etis dogmatis. Dengan demikian kesadaran profetis dalam pemberdayaan masyarakat itu perlu dan penting karena itu merupakan suatu bentuk kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai Ilahiah dalam rangka menjalankan proses kehidupan.
Oleh karena itu pemberdayaan perempuan hendaknya melahirkan sebanyak mungkin perempuan yang berpikiran maju, berwawasan inklusif, modern, aktif, dinamis, terdidik dan mandiri tetapi tetap memiliki akidah yang benar, sopan santun, mempunyai rasa malu dan budi pekerti mulia. Karena tujuan dari pemberdayaan perempuan adalah untuk menentang budaya patriarki yaitu dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan, merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan.
3.      Implementasi Nilai-Nilai Profetik dalam Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan dan keadilan gender adalah terciptanya kesamaan kondisi dan status laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan menikmati hak-haknya sebagai manusia agar sama-sama dapat berperan aktif dalam pembangunan. Dengan kata lain, penilaian dan penghargaan yang sama oleh masyarakat terhadap persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan serta berbagai peran mereka.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. At Taubah: 71)
Dalam ayat tersebut bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peluang dan peran yang sama di sektor publik sebagaimana halnya mereka berperan di sektor domestik. Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang sama yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tugas amar ma’ruf nahi munkar ini merupakan tugas yang harus dikerjakan bersama laki-laki dan perempuan. Islam juga memberikan kebebasan bagi perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Di dalamayat tersebut disebutkan bahwa di antara karakteristik orang-orang mukmin perempuan adalah saling tolong menolong satu sama lain, memrintahkan kebajiakan dan mencegah kemungkaran teramasuk amar ma’ruf nahi mungkar di masalah politik maupun bidang-bidang yang lain. Karena mengenai soal kemakmuran rakyat dan keamanan Negara itu kaum perempuan ikut bertanggung jawab maka kaum wanita Islam diperlukan untuk ikut memikirkan soal-soal yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan ikut serta menggerakkan dan melakukannya.
Prinsip persamaan mengandung pengertian bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama yakni melaksanakan perintah-perintah agama. Dalam tatanan relasi antar manusia bahwa setiap laki-laki dna perempuan memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki peluang sama untuk mendapat adzab bila masing-masing melanggar perintah tersebut (QS. An Nahl: 97, QS. An Nisa’: 124 dan QS. Al Mu’min: 40). Dalam ayat-ayat al Qur’an dan telah terbukti dalam sejarah hidup Rasulullah sendiri bahwa laki-laki yang beriman sama haknya dengan perempuan yang beriman, bahkan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Islam pun mengetahui dan menjaga kondisi fisik perempuan, jangan sampai ia memikul hal yang tak dapat dipikulnya.
Dalam konsep kesetaraan dan keadilan gender ini perlu dilandasi dengan nilai-nilai profetik di mana dalam kehidupan ini kita perlu meneladani Rasulullah, karena keduanya itu saling berkaitan dan setara itu bukan berarti sama. Adapun nilai-nilai profetik yaitu Humanisasi merupakan amar ma’ruf  (menganjurkan atau menegakkan kebaikan) yang bertujuan untuk meningkatkan dimensi dan positif manusia, yang mmebawa kembali pada petunjuk ilahi untuk mencapai keadaan fitrah. Dalam hal ini bahwa kaum perempuan harus dipandang sama dengan kaum laki-laki dari segi kiprahnya sebagai manusia, hak-hak asasinya juga harus diakui baik di bidang IPTEK, ekonomi, politik maupun sosial yang tak lain adalah untuk mengembangkan kualitas ilmunya. Liberasi merupakan nahi munkar (melarang atau mencegah segala tindakan kejahatan) yang memiliki arti pembebasan terhadap yang termarjinalkan. Dalam hal ini bahwa kaum perempuan harus membebaskan diri dari gender stereotying yang menganggap perempuan tidak cocok di dunia publik yang nantinya akan mempunyai peran ganda yakni domestic dan publik. Transendensi merupakan tu’minuna billah yang berarti beriman kepada Allah, dalam hal ini bahwa setiap apa yang telah dikerjakan tersebut tujuannya adalah untuk menolong agama Allah.
Dengan demikian ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah itu merupakan tugas bagi setiap laki-laki maupun perempuan di dunia (baik di sektor domestik maupun publik) ini agar  menjadi umat terbaik (khoiru ummah) dalam QS. Ali Imron: 110 “kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna bil ma’ruufi wa tan hauna ‘anil munkar wa tuminuuna billah (kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, meyuruh kepada yang ma’ruf,  mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah).” Kemudian terwujudlah baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur.

C.      KESIMPULAN
Gender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan. Namun gender berkaitan dengan proses keyakinan bahwa bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur serta dengan ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan sebagai pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Dalam hal ini maka laki-laki dan perempuan harus berdaya di segala sektor baik publik maupun domestik.
Pemberdayaan perempuan adalah upaya meningkatkan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial budaya. Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk memupuk kemampuan dan rasa percaya diri perempuan agar nantinya mampu berperan aktif dalam memecahkan persoalan diri dan masyarakat. Dan  Pemberdayaan perempuan hendaknya melahirkan sebanyak mungkin perempuan yang berpikiran maju, berwawasan inklusif, modern, aktif, dinamis, terdidik dan mandiri tetapi tetap memiliki akidah yang benar, sopan santun, mempunyai rasa malu dan budi pekerti mulia. Karena tujuan dari pemberdayaan perempuan adalah untuk menentang budaya patriarki yaitu dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan, merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan.
Dan agar kaum perempuan dapat aktif dalam masing-masing disiplin ilmunya (di segala bidang yang ditekuni) maka diperlakukan pemberdayaan bagi kaum perempuan dengan memberi peluang yang lebih luas untuk berpartisipasi, meningkatkan percaya diri perempuan, memberikan kesempatan lebih banyak dalam pengambilan keputusan, memperluas ruang gerak dan kesempatan perempuan.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan ini merupakan tugas bagi kita supaya kaum perempuan itu berdaya di segala bidang baik di bidang IPTEK, ekonomi, politik dan sosial. Karena itu merupakan hak kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan yang setara dan adil dalam rangka untuk meningkatkan kualitas dirinya dan menebarkan ilmunya ke masyarakat. Dan tak lain harus dilandasi juga dengan nilai-nilai profetis yaitu mengutamakan humanisasi, mewujudkan liberasi dan melakukan transendensi. Sehingga generasi khoiru ummah itu terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansoer. 2016. Analisi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress.
Fayumi, Badriyatun dkk. 2001. Keadilan dan Kesetaran Gender (Perspektif Islam). Jakarta: Tim Penerbit Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departeman Agama RI.
Hamka. 2017. Buya Hamka Berbicara Perempuan. Jakarta: Gema Insani.
Ilyas, Yunahar. 2015. Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
Kontowijoyo. 2007. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sani, Muhammad Abdul Halim. 2017. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sastriyani, Siti Hartini. 2009. Gender and Politics. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Madah dengan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Penerbit Tiara Wacana.

                                                                                                                       

Pendidikan dan Keteladanan

Sejak diturunkannya Nabi Adam dan Hawa di muka bumi proses pendidikan sudah dilakukan dan diajarkan, dalam ceritanya di buku qoshosul qur’an...